Iklan 3360 x 280
iklan tautan
Patriot NKRI - Nama Pitung hingga kini masih menjadi legenda di kalangan masyarakat Betawi. Cerita berkembang hingga kini, Pitung adalah sosok jawara suka membela kebenaran dan membantu rakyat kecil pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Dia dilahirkan di Kampung Rawa Belong, Jakarta Barat sekitar tahun 1866. Nama aslinya, Salihoen.
Pitung memang diketahui lahir di Kampung Rawa Belong. Ayahnya bernama Piung, merupakan asli Banten. Sedangkan ibunya, Pinah, merupakan asli Cirebon. Mereka bertemu dan menikah di Rawa Belong. Dari cerita soal kelahiran Pitung, hanya dialah seorang paling menonjol di kalangan keluarganya. Cerita soal keberadaan saudara kandungnya sangat minim. Wajar jika kemudian banyak yang mengatakan, Pitung merupakan anak tunggal.
Kelahiran Pitung menurut Nunung memang memiliki cerita tersendiri yang kemudian berkembang hingga kini. Kisahnya menjadi jawara bermula ketika dia berguru pada Haji Naipin di Tanah Abang. Pitung saat itu disekolahkan oleh kedua orang tuanya di Pesantren milik Haji Naipin. Di sana, Pitung belajar agama dan beladiri. Bela dirinya pun masih terkenal hingga kini yaitu 'Seni Bela Diri Maen Pukul'.
Pitung memang dibesarkan dan diajarkan oleh kedua orangtuanya dengan ajaran syariat Islam. Selama belajar dengan Haji Naipin, Pitung juga menjadi murid kesayangan karena pintar.
Singkat cerita, setelah dia selesai berguru di Pesantren Haji Naipin, Pitung kembali ke Rawa Belong. Dia kemudian hidup dan membantu kedua orang tuanya. Saban hari, Pitung mengembalakan kambing. Hingga akhirnya suatu ketika, Pitung disuruh ayahnya menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Sebelum berangkat, ayahnya berpesan agar hati-hati, sebab daerah Tanah Abang rawan bandit sama perampokan.
Kemudian pergilah Pitung ke Pasar Kambing Tanah Abang. Dia pergi sambil membawa dua ekor kambing gemuk untuk di jual. Tak perlu waktu lama bagi Pitung menjual kambing itu. Pembeli pun langsung tertarik karena kambing peliharaannya sehat. Uang hasil jual kambing buru-buru ia simpan dalam bajunya. Kemudian dia bergegas pulang ke Rawa Belong.
Karena waktu panggilan salat tiba, Pitung mampir di sebuah musala. Dia kemudian salat. Namun Pitung tak sadar jika dia dikuntit kawanan pencuri. Uang ditaruh dalam celananya raib. Ternyata, ada dua orang pencuri mengikuti dia dan mengambil uang dari bajunya pitung yang digantung itu.
Sampai di rumah, Pitung habis di maki-maki ayahnya. Uang hasil jualan kambingnya raib. Pitung lalu disuruh kembali ke Pasar Tanah Abang. Dia tidak diizinkan pulang sebelum membawa uang hasil jualan kambing. Karena sudah terlanjur kesal, Pitung kemudian bergegas ke Pasar Tanah Abang. Di sana, dia menemui preman-preman pasar mengambil uangnya. Pitung berkelahi. Dia memenangkan perkelahian dan ditawarkan bergabung dengan kelompok bandit itu. Namun sebagai anak betawi dibesarkan dengan ilmu agama, Pitung menolak. Dia justru menasihati para begundal pasar itu agar lebih banyak menolong orang.
Menjadi "Robin Hood"
Singkat cerita, ketika dia kembali ke kampungnya untuk mengantarkan duit hasil jualan kambing, Pitung justru melihat warga kampung diperas oleh Kompeni Belanda. Dari sanalah kemudian muncul idenya untuk bergabung dengan para perampok di Pasar Tanah Abang. Sejak saat itu Pitung membuat kelompok untuk merampok tuan tanah kaya. Dia kemudian membagikan hasil rampokannya kepada penduduk yang sengsara. Sejak saat itu juga nama Pitung tersohor.
Dalam catatan surat kabar Hindia Olanda kisah Pitung terekam pada tahun 1892-1893. Pitung dalam koran itu diceritakan sebagai sosok seorang komplotan perampok dan menjadi buronan kelas kakap Polisi Kolonial. Menurut versi lain, seluruh harta hasil rampokan Si Pitung diserahkan untuk kepentingan perjuangan. Dan, bukan untuk dibagi-bagikan langsung kepada rakyat kecil sebagaimana selama ini didongengkan. Maka itulah pulalah, di luar konteks kesaktiannya, Pitung amat sulit ditangkap oleh Belanda, karena banyak tokoh yang melindungi.
Sejak saat itu juga Pitung kemudian menjadi buronan dengan Messter Cornelis. Dia kemudian memerintahkan Komisaris Polisi Batavia, Scouth Van Heyne untuk menangkap pitung. Bahkan karena sudah bikin tuan tanah takut, sampai ada sayembara penangkapan si Pitung.
Dalam pelarian, Pitung berlindung dari kampung ke kampung lainnya di daerah Batavia. Beberapa kali pitung nyaris tertangkap. Dengan segala cara, Si Pitung dapat ditangkap dan dijeboskan ke dalam penjara Meester Cornelis pada 1891. Namun, karena kesaktiannya, Pitung pun berhasil meloloskan diri.
Kesaktian Pitung
Pitung menurut Bachtiar juga merupakan representasi pemuda Betawi saat itu. Dia kerap memakai baju dan celana warna merah serta ikat pinggang khas Betawi. Di ikat pinggang itu juga terselip sebilah golok yang sering dibawa untuk menghadapi musuh-musuhnya. Bahkan ada cerita jika golok itu merupakan senjata sakti milik Pitung.
Selain golok, Pitung juga memiliki benda sakti lain. Bachtiar menyebut jika sarung sering dibawanya merupakan sarung sakti. Sarung itu juga biasa digunakan si Pitung untuk melakukan ibadah salat. Ada cerita soal kesaktian sarung si Pitung. Jika digunakan untuk melawan penjahat, sarung itu bisa melumpuhkan lawan.
Menurut cerita rakyat yang masih hidup di masyarakat Betawi, salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Pitung disebut Rawe Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Pitung.
Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa ronteknya itu, Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
Ada versi tentang kuburannya, katanya badannya dibelah, dikubur di beberapa tempat seperti Jembatan Lima dan Pulau Onrust. Tujuannya, supaya badannya tidak menyatu lagi karena Pitung punya ilmu Rawe Rontek, mati bisa hidup lagi.
Eksekusi Mati
Pitung akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah mengetahui gurunya, Haji Naipin dan kedua orangtuanya dijadikan sandera oleh Schout Van Heyne. Setelah menyerahkan diri, Pitung dieksekusi mati oleh Belanda dengan hukuman tembak.
Menurut koran Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritakan dalam legenda, kesaktian Pitung hilang akibat jimat-nya diambil. Versi lain menyatakan, Pitung dapat dikalahkan jika dipotong rambutnya. Berdasarkan koran Hindia Olanda, sebelum kematiannya Pitung telah dipotong rambutnya.
Berdasarkan cerita rakyat versi lainnya, Pitung mati setelah ditembak dengan peluru emas Schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya.
Ia ditembak dengan peluru emas Schout van Hinne (setara Kapolres) karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap si Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan.
Namun cerita soal kesaktian Pitung justru diluruskan oleh Haji Nunung, Sesepuh Kampung Rawa Belong ini menuturkan jika Pitung tidak memiliki kesaktian seperti dalam film. Menurut dia, kesaktian si Pitung merupakan buah dari ajaran agama yang dijalankan. Bahkan Nunung juga mengatakan jika Pitung tidak kebal ditembak dan di bacok oleh musuhnya.
Baca Juga:
Sumber: merdeka.com | metro.news.viva.co.id