Iklan 3360 x 280
iklan tautan
Patriot NKRI - Masing-masing punya tugas menjemput satu nama, membawa sang jenderal ke kawasan Lubang Buaya. Ratusan orang yang dipecah dalam tujuh regu naik ke truk militer dan bus-bus dinas.
Inilah kronologi lengkap peristiwa malam jahanam terbunuhnya enam jenderal dan para orang terdekat mereka yang ikut menjadi korban.
Tapi mari kembali mundur sejenak ke malam-malam kelam 30 September 65. Lima orang berkumpul di dekat Bandara Udara Halim Jakarta Timur, resah membicarakan rencana pergerakan pasukan dari seharusnya bergerak pukul 23.00 WIB, terpaksa dimundurkan dua jam. Semua orang, sesuai transkrip sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, banyak menyinggung istilah jam 'J': Jam penculikan para jenderal.
Sekelompok tentara, kebanyakan mengaku loyalis Presiden Soekarno, mempersiapkan operasi penculikan petinggi Angkatan Darat. Kasak-kusuk beberapa bulan sebelumnya sudah muncul di Jakarta, tentang keberadaan Dewan Jenderal binaan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) bertujuan mendongkel Bung Besar - julukan bagi Soekarno - dari posisi kepala negara. Ada tujuh yang menjadi sasaran utama, mencakup Abdul Haris Nasution, sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Indonesia saat itu berada dalam arus besar Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Soekarno sejak awal 60-an merapat ke negara-negara komunis dan sosialis, membuat negara Barat kalang kabut.
Letkol Untung Syamsuri, Mayor Soejono, Brigjen Soepardjo, dan Kolonel Latief, adalah beberapa tokoh kunci dari militer yang mempersiapkan operasi penculikan para jenderal sasaran. Untung menyusul ke lokasi beberapa menit setelah selesai bertugas mengawal Presiden Soekarno yang berpidato dalam acara Musyawarah Teknisi di Istora Senayan pada malam 30 September.
Kebanyakan tentara yang dilibatkan berasal dari Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa, yang sehari-hari mengawal Presiden Soekarno. Ada pula Garnisun Kodam Jaya, Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim, belakangan baru datang bantuan dari Brigif I Jaya Sakti dan Batalyon 454/Diponegoro. Semua pasukan bersiaga di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur sejak sore hingga malam.
Bantuan garnisun tank tempur tak kunjung datang. Sjam Kamaruzaman, tokoh yang disebut-sebut anggota Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, menuntut tentara yang resah agar tenang. Dia meyakinkan para perwira itu bahwa rencana menculik jenderal musuh politik Soekarno perlu diteruskan.
"Kalau mau revolusi banyak yang mundur. Tetapi kalau sudah menang banyak yang ikut," kata Sjam, yang kata-katanya ini kesohor karena dikutip dalam film propaganda klasik "Pengkhianatan G30S/PKI 1965" arahan Arifin C. Noer.
Kalender akhirnya masuk pada 1 Oktober. Pasukan diperintahkan siaga oleh Letnan Dul Arif. Mereka mendapat daftar sasaran Dewan Jenderal yang perlu diculik bagaimanapun caranya. Inilah daftarnya selain A.H Nasution: Letjen Ahmad Yani, Mayjen Raden Suprapto, Mayjen Mas Tirtodaro Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen Donald Isaac Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomihardjo.
Dul meyakinkan para prajurit, bahwa nama-nama itu hendak menggulingkan Soekarno. Mereka semua percaya pada penjelasan Dul. Pukul 02.00 WIB, ratusan orang yang dipecah dalam tujuh regu naik ke truk militer dan bus-bus dinas. Masing-masing punya tugas menjemput satu nama, membawa sang jenderal ke kawasan Lubang Buaya.
Satu truk menyimpang sendirian menuju Kebayoran Baru, rumah D.I Pandjaitan. Sementara kebanyakan rombongan prajurit mengarah ke kawasan Menteng, Jakarta Pusat yang memang banyak dihuni petinggi militer Indonesia.
Dua truk tiba lebih dulu pukul 03.40 WIB di Jalan Latuharhary Menteng. Naila Karima, saat itu masih SD, ingat betul truk tentara parkir sebelum azan Subuh. Belasan prajurit berloncatan dari belakang truk. Mereka menuju kediaman Jenderal Nasution, mengepung dari pintu depan maupun belakang.
"Tanteku yang kamarnya di belakang rumah mengetuk jendela kamar ibuku sambil memberi tahu ada truk tentara parkir dekat rumah India yang kosong, ia takut ada perampokan," tulis Karima dalam kesaksian yang dimuat Surat Kabar Sinar Harapan.
Di kediaman Jenderal Nasution, Jalan Teuku Umar para tentara tersebut masuk mengetuk pintu depan rumah. Mereka dengan mendobrak pintu menuju kamar Nasution. Istri Nasution yang terbangun melihat pasukan Tjakrabirawa membawa senjata siap tembak.
Dia bergegas memberitahu suaminya agar melarikan diri, sang istri menggendong anaknya Ade Irma. Namun pasukan tentara itu terus menembak dan mengenai anaknya Ade Irma yang berlumuran darah. Ade Irma dikabarkan tewas saat dirawat di RSPAD Gatot Subroto, setelah lima hari menjalani pengobatan akibat tembakan.
Rekonstruksi peristiwa G30S |
Nasution yang melarikan diri meloncat tembok belakang rumah ke Kedutaan Besar Irak. "Temboknya dulu belum tinggi jadi mudah melompat, setelah kejadian ditinggikan," kata penjaga Museum Jenderal AH Nasution, Sumarno kepada merdeka.com.
Mendengar suara tembakan, para ajudan Nasution terbangun dari asramanya yang berada di sebelah. Letda Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur menuju kamar Nasution namun sudah dikepung para tentara di depan pintu.
Para tentara itu yang mencari Nasution menanyakan kepada Pierre Tendean. Namun Pierre Tendean malah mengaku sebagai Jenderal Nasution. "Dengan meletakkan senjata, Pierre Tendean dibawa para tentara karena mengaku Jenderal Nasution mungkin wajah mirip jadi mereka (Tjakrabirawa) yakin Tendean itu Nasution," kata Sumarno.
Sementara itu, Aipda Anumerta Karel Satsuitubun penjaga rumah Dr. J. Leimena yang berjarak 100 meter dari rumah Jenderal Nasution. Ketika itu, Karel mendengar ada suara dan keributan di rumah Nasution. Dengan menembak para tentara itu, Karel tewas seketika di depan pintu pos penjaga rumah Nasution.
Kemudian, rumah Letjen Ahmad Yani juga dikepung pasukan tentara. Masuk lewat pintu belakang, pasukan tentara itu ditemui pembantu rumah bernama Mpok Mila. Saat itu Ahmad Yani sedang tertidur di kamarnya, mereka memaksa Mpok Mila untuk membangunkan dengan alasan negara sedang darurat. Namun Mpok Mira terus menolaknya karena sungkan membangunkan majikannya.
Alhasil, anak Ahmad Yani, Edi yang sedang terbangun karena mencari ibunya tak berada di rumah. Para tentara itu meminta Edi untuk membangunkan bapaknya di kamar. Tanpa menolak, Edi membangunkan bapaknya karena ada tentara menunggu di belakang rumah.
Setelah Ahmad Yani menemui para tentara itu, mereka memaksa Jenderal Ahmad Yani untuk pergi ke istana presiden meski berpakaian tidur dan belum cuci muka. Namun hal itu, Ahmad Yani marah menampar salah satu tentara yang berpangkat korpal.
Setelah berbalik badan, Ahmad Yani ditembak tiga pasukan tentara dengan senjata Thompson. Di pintu lorong menuju belakang rumah, Ahmad Yani tewas tertembak.
"Tubuh Pak Ahmad Yani diseret menuju truk dan dibawa ke Lubang Buaya. Pada saat itu, mereka menculik dengan perintah culik para jenderal dalam kondisi hidup atau terbunuh," kata penjaga museum Ahmad Yani, Hadi, kepada merdeka.com.
Tujuh peluru yang ditembak ke arah badan Ahmad Yani tembus merusak tembok, lukisan dan lemari.
Monumen Lubang Buaya |
Sementara, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono di kediaman Jalan Prambanan, Menteng. Tiga truk tentara, berlari menuju pintu rumah MT Haryono. Puluhan tentara memaksa bertemu MT Haryono, yang saat itu ditemui istrinya.
MT Haryono usai mengawal Presiden Soekarno di Istora Senayan, meminta istrinya untuk mengatakan kepada para tentara untuk kembali pulang. Akan tetapi, para tentara tersebut enggan meninggalkan lokasi, justru menembak segala arah di dalam rumah.
Pintu kamar MT Haryono yang dikunci ditembak para tentara. MT Haryono yang sembunyi untuk merebut senjata salah satu senjata tak berhasil. "Bapak tewas di dalam kamar, lalu dibawa ke truk yang sudah menunggu di depan rumah lalu di lempar tubuhnya," kata Rianto Nurhadi kepada merdeka.com.
Tak hanya itu, pasukan tentara tersebut mengincar jenderal TNI AD lainnya. Mayjen TNI Siswondo Parman diculik menuju Kelurahan Lubang Buaya.
Ketika para tentara itu masuk ke rumah Siswondo Parman, sang istri dan Siswondo terbangun oleh suara yang gaduh. Para tentara itu meminta Siswondo Parman untuk menghadap Presiden Soekarno dengan alasan negara darurat.
Namun sang istri menanyakan surat otorisasi kepada salah satu tentara itu. Siswondo Parman yang curiga meminta sang istri untuk menelepon Letjen Ahmad Yani, namun sambungan kabel telepon diputus para tentara. Alhasil, Siswondo Parman dibawa para tentara ke dalam truk dan sang istri untuk tak keluar.
Di tempat berbeda, Brigjen DI Panjaitan juga tewas tertembak para tentara itu. Para tentara itu menembak karena DI Panjaitan enggan ikut ke dalam truk.
Sebelumnya, ketika itu para tentara masuk ke dalam rumah menembak segala arah di lantai 1 rumahnya. Setelah mengancam keluarganya, DI Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap berdoa. "Di situ beliau tewas tertembak, dekat garasi rumah," kata penjaga rumah DI Panjaitan, Aseng kepada merdeka.com.
Jenderal lain yang diculik, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo tewas di Kelurahan Lubang Buaya. Pasukan tentara masuk melalui garasi di samping rumah.
Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, tanpa curiga penghuni rumah tak melakukan perlawanan. Mereka masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno.
Sedangkan Mayjen TNI Raden Suprapto juga ikut culik. Ketika itu, para pasukan tentara meminta Suprapto mengahadap Presiden Soekarno. Namun tanpa curiga, Suprapto kembali ke kamar untuk berganti pakaian, namun pasukan tentara itu meminta tak usah berganti pakaian karena terburu-buru.
Sang istri yang mendengarkan percakapan melalui pintu kamar keluar saat sang suami dibawa pergi. Namun pasukan tentara untuk menyuruhnya masuka kembali ke dalam kamar, serta mereka merusak kabel telepon.
Sisanya kemudian sejarah. Jasad para jenderal ditemukan pada 4 Oktober 1965. Panglima Kostrad Mayjen Suharto melakukan penggalian di Kelurahan Lubang Buaya. Di sana ditemukan tubuh para jenderal yang dikubur bertumpuk.
Soeharto selanjutnya mempimpin pembersihan komunis di Indonesia. Lubang Buaya diubah menjadi monumen ketika Orde Baru berdiri. Sedikitnya 500 ribu orang, baik anggota maupun simpatisan PKI dibunuh secara sistematis hingga 1966 oleh tentara dibantu ormas keagamaan.
Jauh dari hiruk pikuk kondisi nasional, beberapa hari sebelumnya, sekelompok anak SD di Menteng saling bertukar kabar.
Karima, tetangga Nasution, membahas peristiwa kedatangan tentara dengan kawan-kawannya yang juga tinggal di kawasan Menteng menyoal kondisi beberapa jam sebelumnya. Sahabatnya bernama Laksmi mengaku melihat tembak-tembakan.
Lalu tibalah pengakuan itu. Bocah bernama Adri Haryono duduk kemudian berbicara lirih. "Bapakku tadi malam dibunuh. Adri adalah putra Jenderal MT Haryono.
Simak selengkapnya dalam video berikut:
Sumber: merdeka.com