Iklan 3360 x 280
iklan tautan
Patriot NKRI - SUNGGUH tak banyak lagi diingat orang. Peristiwa tragis seakan harus membatas kehidupan Yang Chil Sung di tegalan “Kherkoff” (“Gelora Merdeka”), Garut. Serdadu asal Korea yang dianggap sebagai tentara Jepang itu gugur, setelah dieksekusi Belanda, 10 Agustus 1949.
Akan tetapi, jasad Yang Chil Sung dibaringkan di balik bumi Taman Makam Pahlawan “Tenjolaya” Garut, dengan gelar kehormatan sebagai pahlawan kemerdekaan. Itu keunikan peristiwa kesejarahan. Seorang serdadu Korea, mendapat pengakuan pahlawan kemerdekaan negeri ini.
Kepergian Yang Chil Sung, lalu mengalirkan serpihan kenangan perjuangan yang amat dramatis. Tentu, karena pemerintah Belanda memvonis hukuman mati itu untuk tiga serdadu Jepang, yang berganti nama Indonesia. Mereka terdiri dari Komarudin, Abubakar, dan Usman. Ketiganya aktif membantu aksi gerilyawan kemerdekaan Indonesia.
Namun Komarudin alias Yanagawa Sichisci, diketahui kemudian bernama asli Yang Chil Sung, tentara dari Korea. Hanya Abubakar dan Usman, serdadu Jepang yang bernama asli Hasegawa dan Masashiro Aoki. Mereka bersama Komarudin, bergabung ke dalam pasukan “Pangeran Papak” Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG) pimpinan Mayor Kosasih, yang bermarkas di Kecamatan Wanaraja, Garut. Dengan pasukan itu pula, mereka pernah ikut tempur dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Eksekusi di Lapang “Kherkoff”, menggores luka dalam hati para pejuang kemerdekaan di Garut. Terlebih bagi R Djuhana, Wakil Komandan Batalyon “Pangeran Papak”. Pejuang ini mengaku, seharusnya menjalani hukuman mati itu bersama mereka.
“Alhamdulillah saya selamat, karena saya bisa berbahasa Belanda! Saya melakukan pembelaan dan perlawanan dulu” tutur R. Djuhana dalam kenangan pertemuan di Ngamplang Garut, 19 Agustus 1995, di depan perwakilan warga Korea.
Saat itu, acara digelar selepas upacara kemiliteran untuk pergantian batu nisan Yang Chil Sung, yang dipimpin Kepala Staf Kodam III/Siliwangi Brigjen TNI Rachmat HS Mokoginta. Sejumlah kawan seperjuangan alm. Komarudin lainnya, seperti H Ajiji, Momod, E Sutisna, Uwe, Endi, Umung serta Sopian, menguatkan kesaksian tentang semangat perjuangan serdadu asal Korea itu. Komarudin pun berjasa, karena turut melatih para pejuang dalam pasukan itu.
Penuturan Kim Tay Wong, perwakilan warga Korea, menyebutkan, Yang Chil Sung pada 1942 bertugas sebagai penjaga tawanan perang tentara sekutu di Korea. Semasa Jepang menguasai Korea sejak 1908, warga Korea dipaksa berganti nama seperti orang Jepang. Lebih dari 1.000 warga Korea, termasuk Yang Ching Sung yang berganti nama Yanagawa Sichisci, dipaksa pula harus turut bertempur di Indonesia.
Namun, setelah Korea merdeka, Yang Chil Sung tak pernah kembali ke negerinya. Kabar yang terumbar kemudian, serdadu itu bermukim dan menikah dengan orang Indonesia. Walau begitu, semangat warga Korea dalam melacak jejak Yang Chil Sung, tak pernah memudar.
Kim pun mengakui, banyak kawan seperjuangan Yang Chil Sung dari pasukan “Pangeran Papak”, turut menyusuri keberadaan almarhum. Lalu, Ushumi Aiko mengungkap identitas pejuang itu di dalam buku Korean Activity under the Equator (1980).
Ternyata Yang Chil Sung diketahui mengamankan dirinya di balik nama Komarudin. Pejuang itu menolak dipulangkan ke negerinya, karena tidak mau menjadi tentara tawanan Jepang. Kesaksian R. Djuhana menuturkan, bahwa Komarudin datang ke Garut bersama tiga orang serdadu Jepang dari Bandung, yang berganti nama Abubakar, Ali, dan Usman – dokter di kalangan perwira Jepang.
Pasukan “Pangeran Papak” dan Hisbulloh pimpinan alm. KH Yusuf Taoziri yang kharismatik, membentengi perkotaan Garut dari serbuan Belanda. “Setiap digempur musuh, pasukan kami tidak pernah tertangkap” kenang R Djuhana. Itu yang menyulut aksi Belanda mengerahkan kekuatan tempurnya hingga 4,5 batalyon, untuk menyerang pasukan Pangeran Papak yang hanya berkekuatan kurang dari satu batalyon. Pasukan gerilya pun terpaksa mundur.
Belanda menyebarkan mata-mata. Mereka mengintai pasukan gerilya itu, hingga Djuhana, Komarudin, Abubakar dan Usman tertangkap. “Saya masih ingat benar, waktu Komarudin ditawan Belanda itu lewat tengah malam, sekitar pukul 01.30” kata H Ajiji.
Dalam kesempatan terpisah, RS Harisenjaya yang pernah berdomisili di Kp Paminggir, dekat TPU Pasir Pogor Garut menuturkan, menjelang hukuman mati itu seorang petugas sipir dari rumah penjara Garut menjemput Lebe (penghulu).
Ketiga serdadu Jepang yang dijumpai Lebe selepas Maghrib itu, diketahui mengenakan kampret putih dan kain sarung Cap “Padi” warna merah buatan Preanger Bond Wevery (PBW), yang dikenal kemudian sebagai Pabrik Tenun Garut (PTG).
Dua warna dalam penampilan ketiga terhukum itu, seolah simbol bendera Merah Putih. Mereka menyampaikan permintaan terakhir, agar esok hari setelah hukuman mati, jenazah mereka dimakamkan secara Islam.
Putaran detik jelang hukuman mati digelar,seakan bergulir lebih cepat dan memanggang ketegangan para pejuang. Suasana itu berpuncak pada pagi Pkl 06.00, saat rentetan tembakan terdengar memecah kesepian dari arah Lapang “Kherkoff”, di seberang Sungai Cimanuk.
Warga Kampung Pasir Pogor, lalu melihat tiga keranda berisi jenazah, yang masih terbungkus kampret putih dan sarung merah Cap Padi. Keranda beriringan diusung ke masjid setempat.
Saat-saat eksekusi berlangsung, R. Djuhana mengaku tengah menjalani hukuman seumur hidup di LP Cipinang, Jakarta. Sebaliknya, Eddy Jawan anak tunggal Yang Chil Sung, karyawan MKL Jakarta, baru mengetahui nasib dan kepahlawanan ayahnya, setelah berumur 18 tahun.
“Waktu ayah saya ditembak mati, saya baru berumur satu tahun” kata Eddy Jawan, waktu menghadiri acara pergantian batu nisan almarhum ayahnya.
Usia 3 tahun, Eddy diantar Bik Koyoh yang merawatnya sejak kecil, ke lokasi makam Yang Chil Sung di TPU Pasir Pogor. Eddy mengaku tak pernah tahu lagi nasib Bik Koyoh, yang membesarkannya di Wanaraja, Garut, sampai usia 20 tahun.
Wanita itu pengganti figur ibunya, alm. Ny Lience Wenas, asal Sulawesi, yang menikah lagi di Bandung. Siapa sangka, jika drama kehidupan di balik kepahlawanan serdadu Korea itu, tergelar di tanah Garut.
Kejuangan alm. Komarudin alias Yang Chil Sung, Abubakar dan Usman dihargai sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia. Bukti atas penghargaan itu berupa pemindahan kerangka jenazah mereka dari TPU Pasir Pogor, ke TMP Tenjolaya,19 November 1975.
Putra Yang Chil-sung bersama keluarga dari Korea pada upacara peresmian penggantian nisan Yang Chol-sung, 1995 |
Kehormatan untuk kepahlawanan itu dikuatkan lagi dengan pergantian batu nisan, yang disaksikan Eddy Jawan, Choi Gye Wol (Pemimpin Kodeco Group), 20 anggota keluarga Yang Chil Sung dari Korea, dan staf Kedutaan Besar Korea Selatan di Indonesia.
Kini, nama Yang Chil Sung terukir pada batu nisan Komarudin. Saat acara pergantian batu nisan, Panglima Kodam III/Siliwangi Mayjen TNI Tayo Tarmadi, dalam sambutan tertulisnya menilai, kejuangan Komarudin cermin bening dan realistis dalam menumpas penjajah dan penindasan, yang mampu melintas batas lautan.
Komarudin pantas mewarnai sejarah perjuangan kemerdekaan. Puncak pengorbanan serdadu Korea itu, tersimpan di dalam perut bumi Garut.
Sumber: Yoyo Dasriyo | fokusjabar.com